- DigiAsia Corp berencana mengalokasikan hingga US$100 juta untuk menjadikan Bitcoin sebagai cadangan keuangan jangka panjang.
- Langkah ini diambil saat regulasi kripto di Indonesia mulai diperketat dan volume perdagangan meningkat pesat.
Berita soal rencana DigiAsia Corp membeli Bitcoin hingga US$100 juta cukup bikin geleng-geleng kepala. Bukan cuma karena nominalnya, tapi karena ini datang dari perusahaan fintech asal Indonesia yang sahamnya tercatat di Nasdaq dengan kode FAAS.
Langkah besar ini diumumkan sebagai bagian dari strategi jangka panjang perusahaan untuk menjadikan Bitcoin sebagai cadangan keuangan. Mereka bahkan berniat mengalokasikan sampai setengah dari laba bersih masa depannya ke dalam BTC.
Coba bayangkan kalau separuh keuntungan perusahaanmu disisihkan buat beli satu aset yang terkenal naik-turun? Tapi DigiAsia tampaknya yakin betul. Lewat pendekatan ini, mereka ingin mendiversifikasi kas perusahaan, sambil membuka peluang pemasukan baru lewat pinjaman institusional dan staking lewat mitra teregulasi.
Mereka bahkan mempertimbangkan untuk menerbitkan obligasi konversi dan instrumen keuangan kripto lainnya untuk mendukung langkah ini.
Indonesian fintech firm DigiAsia jumped 91% on Nasdaq after announcing plans to raise up to $100M for a Bitcoin treasury reserve.
The company aims to allocate 50% of future net profits to $BTC and pursue yield strategies with regulated partners.
Just adopt Bitcoin. pic.twitter.com/skFgJ1u0MG
— Satoshi Club (@esatoshiclub) May 20, 2025
Saham DigiAsia Naik Tajam, Tapi Masih Jauh dari Puncaknya
Setelah pengumuman itu dilontarkan pada 19 Mei 2025, saham DigiAsia langsung melesat—naik lebih dari 91% dalam perdagangan reguler dan sempat menyentuh harga US$0,36. Tapi euforianya tak bertahan lama. Di perdagangan pasca-jam kerja, saham turun lagi sekitar 22% ke US$0,28.
Meski begitu, angka ini tetap lebih tinggi dibanding awal bulan. Namun demikian, jika dibandingkan posisi tertingginya tahun lalu yang hampir menyentuh US$12, saham FAAS jelas masih jauh dari masa jayanya.
Lebih lanjut lagi, Co-CEO mereka, Prashant Gokarn, menegaskan bahwa langkah ini bukan cuma soal beli-belian koin, tapi mencerminkan keyakinan perusahaan terhadap Bitcoin sebagai aset masa depan. Ia percaya bahwa BTC bisa jadi landasan baru dalam strategi keuangan modern. Dalam keterangan resmi, mereka juga menargetkan pertumbuhan pendapatan dari US$101 juta di 2024 menjadi US$125 juta tahun ini.
Latar Regulasi dan Pasar Domestik yang Semakin Dinamis
Di sisi lain, langkah DigiAsia ini terjadi di tengah dinamika yang lumayan padat dalam lanskap kripto Indonesia. Mulai 10 Januari 2025, pengawasan kripto secara resmi pindah dari Bappebti ke OJK. Pergeseran ini ditegaskan lewat Peraturan OJK No. 27 Tahun 2024 dan bertujuan memperkuat perlindungan konsumen. OJK bahkan mewajibkan bursa kripto untuk memperbarui daftar aset yang sah diperdagangkan pada April lalu.
Yang menarik, data per 3 Mei 2025 mencatat bahwa volume perdagangan kripto di Indonesia pada Januari saja mencapai Rp44,07 triliun. Itu berarti naik lebih dari 104 persen dibanding Januari tahun lalu. Lonjakan ini tak lepas dari makin banyaknya investor ritel dan aturan yang kini lebih jelas arahnya.
Namun tetap saja, belum semua proyek kripto bisa berjalan mulus di sini. Contohnya, pada awal Mei, seperti yang telah kami laporkan, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menghentikan aktivitas World ID—proyek identitas digital milik Sam Altman. Alasan utamanya? Worldcoin tak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik dan belum punya sertifikasi operasional resmi di Indonesia.