- Organisasi nirlaba di Korea boleh menjual aset kripto jika punya mekanisme internal dan aturan AML.
- Bursa kripto Korea hanya boleh jual aset tertentu, wajib umumkan transaksi sebelum dan sesudah penjualan.
Mulai 1 Juni 2025 mendatang, pemerintah Korea Selatan resmi mengizinkan organisasi nirlaba dan bursa aset digital untuk menjual aset kripto yang mereka miliki. Setiap entitas harus memiliki sistem peninjauan internal sendiri dan memperkuat pemeriksaan anti pencucian uang. Jadi, ini bukan sekadar lampu hijau, tapi lampu hijau dengan banyak rambu lalu lintas.
Khusus untuk organisasi nirlaba, ada batasan menarik. Mereka hanya boleh menerima donasi aset virtual yang sudah didukung oleh setidaknya tiga bursa yang beroperasi dengan won Korea. Setelah diterima, aset itu harus dikonversi secepatnya menjadi uang tunai.
Coba bayangkan kalau sebuah yayasan amal menerima donasi dalam bentuk token meme yang nilainya naik turun seperti roller coaster? Maka tak heran jika pemerintah mengharuskan pembentukan komite internal yang bertugas menilai aset sebelum diterima. Dengan begitu, pengelolaan keuangan nirlaba bisa lebih terjaga dan transparan.
Di sisi lain, bursa aset digital yang ingin menjual aset mereka juga tidak bisa sembarangan. Hanya aset dengan kapitalisasi besar dan dukungan dari tiga bursa lokal yang boleh dijual. Itu pun harus dilakukan melalui minimal dua bursa lain, dengan batas maksimal 10 persen dari volume penjualan harian.
Tujuannya cukup jelas: mencegah manipulasi harga dan mendorong transparansi. Penjualan juga harus diumumkan sebelum dan sesudah dilakukan, seolah-olah semua gerakan mereka ada di bawah sorotan publik.
Pasar Kripto di Korea Selatan Sudah Terlalu Besar untuk Diabaikan
Lebih lanjut lagi, regulasi ini tidak datang dari ruang hampa. Pada Desember 2024 lalu, volume perdagangan harian kripto di Korea Selatan bahkan melampaui gabungan volume perdagangan di KOSPI dan KOSDAQ. Totalnya mencapai US$12 miliar per hari, sementara pasar saham hanya menyentuh US$10,7 miliar.
Yang memicu lonjakan itu tidak hanya hype lokal, tapi juga faktor eksternal seperti persetujuan ETF kripto di AS dan Hong Kong serta aturan baru di Uni Eropa.
CNF sebelumnya juga mengungkapkan bahwa satu dari tiga orang kaya di Korea Selatan—yang punya aset lebih dari 1 miliar won—sudah memegang kripto, dengan nilai rata-rata sekitar 42 juta won per orang. Bisa jadi ini jadi salah satu alasan mengapa pemerintah mulai menyusun regulasi yang lebih fleksibel, namun tetap dengan pengaman.
Namun demikian, tidak semua pelaku industri menyambut hangat perkembangan ini. KuCoin misalnya, sempat dilarang beroperasi di Korea Selatan pada Maret dan April karena masalah izin. CEO barunya, BC Wong, menyatakan bahwa mereka belum menyerah dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali.
Ia juga mengkritik bagaimana beberapa regulator seolah menggunakan regulasi sebagai tameng untuk melindungi bursa lokal dari pemain global.
Bank sentral Korea Selatan pun tidak tinggal diam. Pada April lalu, Bank of Korea menerbitkan laporan yang menyoroti potensi risiko sistemik dari stablecoin. Mereka mendesak agar stablecoin memiliki kerangka kerja yang kuat, mulai dari transparansi, likuiditas, hingga cadangan yang memadai.
Bukan cuma itu, mereka juga menyoroti perlunya keseimbangan antara inovasi teknologi dan kestabilan sistem keuangan. Bayangkan kalau semua orang tiba-tiba menarik dana dari stablecoin yang ternyata tidak punya cadangan memadai—kacau.