- UBS melaporkan investor kaya Asia mulai tinggalkan dolar AS demi emas, kripto, dan aset Tiongkok.
- Pergeseran investasi dipicu kekhawatiran geopolitik dan kebutuhan lindung nilai jangka panjang.
Dalam beberapa bulan terakhir, UBS Group mencatat adanya perubahan arah dari kalangan investor kaya di Asia. Jika sebelumnya dolar AS menjadi andalan utama dalam portofolio mereka, kini angin mulai berembus ke arah yang berbeda. Menurut laporan Bloomberg, aset-aset seperti emas, mata uang kripto, dan saham perusahaan Tiongkok perlahan menjadi pilihan baru yang dinilai lebih menjanjikan.
Menurut UBS, perubahan ini tidak muncul begitu saja. Ketegangan geopolitik dan kekhawatiran terhadap masa depan ekonomi AS membuat banyak investor mulai memikirkan ulang di mana mereka meletakkan kekayaan mereka. Tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk mengalihkan alokasi investasi ke instrumen alternatif—dengan alasan perlindungan nilai dan peluang pertumbuhan yang lebih luas.
Salah satu aset yang kini dilirik adalah kripto. Bahkan, UBS mencatat bahwa beberapa klien kaya mulai menyisihkan hingga 5% dari portofolio mereka untuk aset seperti Bitcoin dan Ethereum. Ini bukan hal sepele jika melihat betapa dulu kripto dianggap terlalu berisiko untuk kelas investor yang cenderung konservatif.
Arah Baru Asia: Bitcoin, IPO, dan Jalur Timur
Menariknya, tren ini sejalan dengan berbagai langkah yang terjadi di kawasan tersebut. CNF melaporkan bahwa UTXO Management dan Sora Ventures telah mengakuisisi lebih dari 70% saham HK Asia Holdings—sebuah langkah strategis yang dimaksudkan untuk mendorong adopsi Bitcoin di Asia.
Bahkan, Sora Ventures sudah menyiapkan dana sebesar US$150 juta khusus untuk misi ini, termasuk menjadikan Bitcoin sebagai bagian dari kas perusahaan.
Di sisi lain, wilayah Tiongkok dan sekitarnya juga makin ramai. Animoca Brands, perusahaan kripto yang sebelumnya dikeluarkan dari bursa saham Australia, berencana melantai di bursa New York. Pemicunya? Kebijakan deregulasi dari Presiden AS Donald Trump yang menciptakan “momen unik” untuk ekspansi.
Mereka melihat ini sebagai peluang besar, terutama setelah tekanan regulasi dari pemerintahan sebelumnya membuat banyak perusahaan kripto angkat kaki dari AS.
Sementara itu, India justru mengambil jalur berbeda. Pemerintahnya kini mengetatkan pengawasan terhadap transaksi kripto, terutama yang melibatkan wilayah-wilayah sensitif seperti Jammu & Kashmir. Melalui Financial Intelligence Unit (FIU-IND), pemerintah India mengarahkan bursa kripto domestik untuk memantau transaksi dengan potensi pencucian uang atau pendanaan ilegal.
Namun demikian, bukan hanya sektor publik yang bergerak. Dari sisi swasta, FalconX—broker kripto asal AS—baru saja mengumumkan kemitraan strategis dengan Standard Chartered.
Fokus utamanya adalah menghadirkan layanan penyelesaian fiat yang lebih cepat dan aman bagi investor institusi seperti hedge fund dan dana kekayaan negara. Inisiatif ini akan dimulai dari Singapura sebelum diperluas ke Timur Tengah dan AS.
Lebih lanjut lagi, semua dinamika ini menguatkan satu hal: Asia bukan lagi hanya menjadi pasar penerima inovasi, tapi juga pencipta arah baru dalam lanskap investasi global. Investor yang sebelumnya terpaku pada dolar AS kini lebih berani menelusuri jalur-jalur alternatif yang sebelumnya hanya dianggap sekadar cadangan.
Coba bayangkan kalau sebelumnya emas dan kripto cuma jadi bahan obrolan santai di forum investor, sekarang keduanya ada di meja utama. Di dunia di mana segalanya bisa berubah dalam semalam, tampaknya mereka yang lebih cepat beradaptasi justru yang akan bertahan lebih lama.
