- FinCEN mengusulkan pelarangan total Huione Group karena dituding mencuci dana ilegal senilai miliaran dolar.
- Huione dikaitkan dengan kelompok peretas Korea Utara dan stablecoin yang sulit dilacak.
Langkah keras datang dari Amerika Serikat. Lewat Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN), pemerintah AS mengusulkan pelarangan total terhadap Huione Group, konglomerat finansial asal Kamboja, dari seluruh akses ke sistem keuangan merek
Ini bukan gertakan biasa. Tuduhannya berat—Huione dituding menjadi pusat pencucian uang global dengan nilai lebih dari US$4 miliar selama periode 2021 hingga awal 2025. Bukan cuma itu, grup ini juga dikaitkan dengan kelompok peretas Korea Utara seperti Lazarus yang sudah dikenal luas di dunia siber.
FinCEN Curigai Huione Jadi Jalur Cuci Uang Digital
Huione Group menjalankan sejumlah entitas, termasuk Huione Pay dan Huione Crypto, yang menawarkan layanan pembayaran dan pertukaran kripto. Tapi masalahnya bukan cuma soal bisnis. Banyak dari layanan ini digunakan untuk mencuci dana hasil kejahatan siber, penipuan asmara, hingga eksploitasi manusia.
Bahkan mereka sempat meluncurkan stablecoin bernama USDH, yang dipromosikan sebagai “tidak bisa dibekukan.” Coba bayangkan kalau aset yang sudah terbukti terkait kejahatan justru dirancang supaya tak bisa disentuh aparat? Di situlah kekhawatiran utama FinCEN.
Penipuan Kripto Merajalela di Berbagai Negara
Di sisi lain, AS bukan satu-satunya yang waspada. Dunia pun makin menyadari ancaman nyata dari kejahatan berbasis kripto. Otoritas Arizona, misalnya, belum lama ini membongkar skema penipuan yang menyasar warga lanjut usia.
Modusnya terbilang licik: para pelaku menyamar sebagai petugas utilitas atau penegak hukum, lalu menakuti korban agar menyetor uang tunai lewat mesin ATM Bitcoin. Dalam hitungan menit, uang itu berpindah ke dompet digital penipu. Nilai kerugiannya? Sudah mencapai jutaan dolar.
Lebih lanjut lagi, pada 16 April lalu, Komisi Kejahatan Keuangan Mauritius juga mengungkap penipuan lain yang tak kalah mengganggu. Tiga orang, termasuk seorang warga Ukraina, ditangkap karena berpura-pura menawarkan jasa pemulihan aset kripto kepada korban penipuan sebelumnya.
Alih-alih menolong, mereka justru menggandakan luka dengan kembali menipu para korban dari berbagai negara. Sulit dibayangkan betapa rumit dan kejamnya dunia penipuan digital saat ini.
Namun demikian, AS memang punya alasan kuat di balik langkah terhadap Huione. Data FBI terbaru menunjukkan bahwa tahun 2024 menjadi puncak kejahatan terkait kripto, dengan lebih dari 149.000 laporan yang masuk ke pusat pengaduan mereka.
Total kerugian mencapai US$9,5 miliar. Sebagian besar berasal dari skema penipuan kompleks, yang sering kali sulit dilacak dan melibatkan jaringan internasional. Maka, tak mengherankan jika FinCEN tak mau main-main kali ini.
Di Eropa, perhatian terhadap sektor ini juga meningkat. CNF sebelumnya melaporkan bahwa mulai 23 April 2025, Google mewajibkan semua pengiklan kripto di Uni Eropa memiliki lisensi MiCA. Bahkan izin khusus dari CASP sekarang menjadi syarat wajib agar iklan dompet dan bursa kripto bisa tayang di platform milik Google. Regulasi makin ketat, karena lubang celah sudah terlalu banyak dimanfaatkan.
Jadi, apakah Huione benar-benar jadi kambing hitam, atau memang sarang bagi aktivitas terlarang? Meski proses pelarangan ini masih dalam masa konsultasi publik selama 30 hari, sorotan global terhadap mereka sudah telanjur tajam. Jika larangan diberlakukan, akses Huione ke infrastruktur keuangan AS akan benar-benar terputus.