- Jepang mengesahkan aturan baru yang memperkenalkan kategori crypto intermediary dengan lisensi lebih ringan dari bursa tradisional.
- Pemerintah juga bisa memerintahkan penyimpanan aset pengguna di dalam negeri untuk melindungi dana dari risiko luar negeri.
Jepang baru saja membuat gebrakan dalam dunia kripto. Setelah melalui proses panjang, Senat Jepang akhirnya mengesahkan rancangan undang-undang yang bakal mengubah cara kerja broker kripto di negara tersebut, mengutip dari Nikkei. Bukan cuma soal lisensi, tapi juga menyangkut perlindungan pengguna dan pengawasan transaksi lintas batas.
Aturan Baru yang Lebih Luwes, tapi Tetap Ketat di Titik Tertentu
Dalam aturan yang disahkan beberapa hari lalu, muncul satu istilah baru yang penting: crypto intermediary businesses. Singkatnya, ini kategori untuk pelaku industri kripto yang tidak berperan sebagai bursa penuh atau penyedia wallet, tapi tetap punya peran menghubungkan transaksi.
Artinya, perusahaan semacam ini tak harus lagi memenuhi syarat lisensi yang selama ini dikenal sangat ketat di Jepang. Bayangkan seperti membuka warung kopi kecil tanpa harus patuh pada standar restoran hotel bintang lima—lebih ringan, tapi tetap terawasi.
Namun demikian, pemerintah Jepang tidak hanya melonggarkan aturan. Di sisi lain, ada juga ketentuan baru yang disebut domestic retention order. Jika ini diterapkan, maka platform wajib menyimpan sebagian aset pengguna di dalam negeri.
Langkah ini muncul sebagai respons dari berbagai kasus masa lalu, seperti bangkrutnya FTX Japan dan beberapa insiden pencurian dana yang merugikan konsumen lokal. Tujuannya jelas: menjaga aset warga Jepang agar tidak mudah lari ke luar negeri ketika ada masalah.
Transformasi Keuangan Jepang Tak Lagi Setengah-Setengah
Menariknya, reformasi ini datang di tengah langkah-langkah lain yang tak kalah besar dari dunia keuangan digital Jepang. Misalnya, pada awal Juni lalu, Bank of Japan secara terbuka menyebut bahwa sistem pembayaran ritel perlu segera didorong untuk berinovasi.
Mereka menyoroti kenyataan bahwa masyarakat Jepang makin jarang menggunakan uang tunai. Meski belum ada rencana final untuk menerbitkan yen digital, BOJ sudah memulai program pilot. Mereka bahkan membuka opsi kolaborasi dengan sektor swasta agar siap jika suatu saat pemerintah bilang, “oke, jalan.”
Lebih lanjut lagi, langkah regulator tak berhenti di situ. Otoritas Jasa Keuangan Jepang (FSA) juga sedang menyiapkan revisi terhadap Undang-Undang Instrumen dan Bursa Keuangan. Salah satu perubahan yang cukup mencuri perhatian: aset kripto bisa dikategorikan sebagai produk keuangan.
Kalau ini disahkan—rencananya pada 2026—maka aktivitas seperti insider trading dalam aset kripto bisa dikenai sanksi hukum yang selama ini hanya berlaku untuk saham dan instrumen finansial lainnya. Ini bisa jadi game changer bagi industri.
Bukan cuma dari sisi regulator, pihak swasta juga bergerak. CNF mencatat bahwa Circle, perusahaan di balik stablecoin USDC, telah memperkuat kehadirannya di Jepang lewat kerja sama strategis dengan SBI Holdings.
Mereka bahkan mendirikan Circle Japan KK, dan sudah meluncurkan USDC melalui platform SBI VC Trade. Langkah ini tak cuma memperluas adopsi stablecoin, tapi juga menambah variasi dalam opsi transaksi yang aman dan cepat.
Kalau dulu regulasi kripto di Jepang terasa seperti bermain game di level tersulit, sekarang aturannya mulai lebih fleksibel—meski tetap penuh pengawasan.
Buat startup atau pemain baru, ini kabar baik. Tapi seperti biasa, di dunia kripto, satu perubahan bisa berarti sepuluh tantangan baru. Yang jelas, Jepang tampaknya serius ingin jadi rumah yang nyaman bagi industri kripto, tanpa mengorbankan ketertiban.