- Kesadaran masyarakat Singapura terhadap kripto mencapai 94%, tapi hanya 29% yang masih memilikinya.
- Singapura dorong infrastruktur kripto lewat bank, stablecoin, dan lisensi resmi.
Bayangkan berjalan di pusat perbelanjaan Orchard Road, lalu secara acak menanyai orang-orang apakah mereka tahu apa itu kripto. Besar kemungkinan, hampir semua akan mengangguk, dan itu bukan asumsi kosong.
Menurut Zaobao, laporan survei terbaru menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat Singapura terhadap kripto kini mencapai 94%. Ini adalah angka tertinggi yang pernah tercatat. Tapi anehnya, meskipun hampir semua orang tahu soal kripto, yang benar-benar memegangnya justru makin sedikit.
Duit Masih Mengalir, Meski Pemilik Kripto Berkurang
Pada tahun sebelumnya, sekitar 40% responden mengaku memiliki aset digital seperti Bitcoin atau stablecoin. Tapi tahun ini, angkanya turun menjadi 29%. Penurunan ini memang terlihat mencolok, tapi ternyata tidak selalu berarti buruk.
Banyak yang memilih untuk menjual sebagian aset mereka, bukan karena panik, tapi karena sudah cuan dan ingin amankan keuntungan. Sekitar 67% dari mereka yang menjual, nyatanya keluar dengan untung. Jadi bukan kabur karena rugi, melainkan lebih ke strategi ‘ambil hasil dulu, santai kemudian.’
Namun demikian, Bitcoin tetap menjadi primadona. Dari semua pemilik kripto yang masih aktif, 68% menyimpan Bitcoin dalam portofolionya. Sisanya tersebar di stablecoin seperti USDT, ETH, hingga token DeFi lain. Lucunya, semakin sedikit jenis token yang mereka pegang, semakin besar peluang mereka impas atau untung.
Mereka yang hanya menyimpan 2 hingga 5 jenis kripto, justru lebih sering tersenyum saat cek saldo—dibandingkan yang mengoleksi 11 token atau lebih. Mungkin karena terlalu banyak pilihan justru bikin bingung sendiri?
Singapura Serius Bangun Infrastruktur Kripto
Di sisi lain, ada cerita menarik dari ranah institusional. CNF sebelumnya melaporkan bahwa Singapore Gulf Bank (SGB) telah meluncurkan SGB Net, sebuah sistem kliring multi-mata uang yang bisa dipakai kapan pun, bahkan saat dunia sedang tidur.
Berbeda dari jaringan SWIFT yang bergantung pada jam kerja bank tradisional, SGB Net justru fleksibel tanpa batasan waktu. Coba bayangkan kalau pembayaran lintas negara bisa terjadi bahkan saat makan malam Tahun Baru Imlek. Ya, semudah itu.
Lebih lanjut lagi, pada 19 Mei 2025, StraitsX meluncurkan stablecoin bernama XSGD di XRP Ledger. Mata uang digital ini dipatok langsung ke dolar Singapura dan didukung penuh oleh dana cadangan di DBS dan Standard Chartered. Tujuannya bukan sekadar jadi koin lokal, tapi mempercepat sistem pembayaran lintas negara antar-blockchain. Fokusnya jelas: efisiensi, kecepatan, dan kepercayaan institusional.
Menariknya, ekosistem kripto di Singapura tidak hanya berkembang dari sisi teknologi. Regulasi juga ikut menyusul. Sejak awal 2024 sampai awal 2025, Monetary Authority of Singapore (MAS) telah menerbitkan lisensi kepada 13 penyedia layanan aset virtual, seperti Gemini, OKX, dan BitGo.
Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak dari Hong Kong. Bisa dibilang, Singapura benar-benar menyiapkan panggung besar untuk kripto, mulai dari infrastruktur hingga aturan mainnya.
Tak berhenti di situ, Singapore Exchange (SGX) pun berencana meluncurkan kontrak berjangka Bitcoin di paruh kedua 2025. Artinya, bukan cuma investor ritel yang diajak bermain, tapi juga investor institusi dengan strategi dan modal besar. Hal seperti ini tentu memperkuat posisi Singapura sebagai pusat kripto regional yang tak hanya mengenal hype, tapi juga membangun fondasi nyata.
Kembali ke survei tadi, meski hanya 29% yang memegang kripto sekarang, sebagian besar dari mereka berniat beli lagi dalam 12 bulan ke depan. Bahkan, 77% percaya Bitcoin bisa mencapai US$100.000 dalam lima tahun.
Apakah ini jadi alasan mereka tetap berharap, atau hanya sekadar optimisme? Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti: di Singapura, hampir semua orang tahu kripto, meskipun tak semua ikut main di dalamnya.